Assalamu’alaikum
wr.wb
Ki Hajar Dewantara |
Pada
kesempatan di pagi hari ini rasa-rasanya kita haruslah bersyukur atas pemberian
dari sang pencipta, Allah SWT berfirman yang
bermaksud: “Maka ingatlah Aku nescaya Aku
akan mengingatimu dan syukurilah atas nikmat-Ku dan janganlah sekali-kali kamu
kufuri nikmat-Ku.” Sebagai
Penulis rasanya tak bosan untuk mengajak Sobat KANS untuk turut melakukan
kegiatan yang bermanfaat.
Di tahun 1913 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berencana membuat suatu
perayaan atas merdekanya Negara Oranye ini atas penjajahan Prancis,tapi teramat
disayangkan biaya untuk menyelenggarakan pesta akbar itu pemerintah Hindia
Belanda malah menarik uang dari rakyat Pribumi.
Menyikapi rencana Bangsa Belanda tersebut,Soewardi Soerjaningrat atau
yang sangat kita kenal sebagai Bapak Ki Hajar Dewantara sang Bapak Pendidikan
Indonesia menulis karangan yang berjudul Als ik een Nederlander was…” yang berarti “Seandainya saya adalah seorang Belanda” karangan ini dimuat pada surat kabar De Express pada Juni 1913 tulisan
ini sangat membuat telinga para petinggi Belanda kepanasan,oleh sebab itu juga
Beliau,dan rekan-rekannya diasingkan ke Belanda.
3 Serangkai |
Berikut adalah Terjemahan dari Karangan Als ik een
Nederlander was yang penulis
dapatkan di sumber sini
Bapak Pendidikan Indonesia |
Dalam makalah-makalah harian sekarang banyak sekali dipropaganda gagasan
untuk mengadakan suatu pesta besar di Hindia; pesta satu abad Kemerdekaan
negeri Belanda. Bagi penduduk di daerah-daerah ini tidak boleh dilewatkan
begitu saja bahwa pada bulan November yang akan datang, tepat seratus tahun
yang lalu, negeri Belanda menjadi Kerajaan dan merupakan suatu bangsa yang
merdeka, walaupun dalam kedudukan tersebut negeri ini mendapat tempat yang
paling akhir dalam barisan negara-negara yang berkuasa.
Memang, dilihat dari sudut kewajaran, banyak hal yang patut dikecam
mengenai perayaan peristiwa nasional mendatang ini, oleh karena menunjukkan
betapa besar cinta mereka terhadap tanah airnya di mana nenek moyang mereka
pernah menunjukkan kepahlawanannya. Peringatan itu akan merupakan pencetusan
seluruh rasa kebangsaan mereka atas berhasilnya bangsa Belanda melepaskan diri
dari penindasan penjajah asing satu abad yang lalu dan membentuk suatu bangsa
sendiri.
Saya dengan mudah dapat menyelami perasaan patriotisme Belanda yang ada
pada mereka sekarang, mereka yang dapat merayakan hari ulang tahunnya. Karena
saya pun seorang patriot, dan seperti orang Belanda yang beraliran nasional
murni yang mencintai Tanah Airnya, saya pun mencintai Tanah Air saya lebih
daripada yang dapat saya katakan.
Betapa menyenangkan, betapa nikmatnya bila dapat memperingati suatu
peristiwa nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin sekali menjadi orang
Belanda, walaupun hanya untuk sementara saja, bukan seorang Belanda Lembaran
Negara Hindia Belanda (Staatsblad-nederlander),
tetapi seorang Belanda yang sebenarnya, anak negeri Belanda Raya, bebas dari
segala percampuran darah asing. Betapa saya akan bersuka-cita, bila hari yang
didamba-dambakan dalam bulan Desember yang akan datang ini tiba, hari
pesta-pora kemerdekaan. Betapa saya akan bersorak-sorai melihat bendera Belanda
dengan jumbai jingga di atasnya melambai-lambai dengan bebasnya. Saya akan
turut menyanyikan lagu “Wilhelmus“ (Lagu Kebangsaan Belanda – penterj.) dan
“Wien Neerlands bloed“ sampai suaraku parau, bila nanti musik dilagukan orang.
Saya mungkin akan merasa bangga atas segala luapan perasan itu; saya akan
bersyukur kepada Tuhan di gereja Kristen atas kebaikannya, saya akan
memanjatkan permohonan, memanjatkan do’a kepada Tuhan di sorga untuk
terpeliharanya kekuasaan negeri Belanda, juga di daerah-daerah jajahan ini,
sehingga kami masih tetap dapat mempertahankan kebesaran kami dengan dukungan
kekuasaan yang luar biasa besarnya. Saya akan minta kepada semua orang Belanda
di Kepulauan Hindia ini uang sumbangan, bukan hanya untuk keperluan pesta saja,
melainkan juga untuk rencana armada laut Colijn, yang demikian gigih berusaha
untuk mempertahankan kemerdekaan Belanda, saya akan……entah apa lagi, tak
tahulah saya apa yang masih akan saya lakukan, senadainya saya seorang Belanda;
karena saya kira saya akan berani berbuat apa saja.
Ah, tidak juga! Seandainya saya orang Belanda, belum tentu saya berani
berbuat segala-galanya. Memang, saya akan berharap agar pesta-pora hari
kemerdekaan itu diselenggarakan semeriah mungkin, akan tetapi saya tidak ingin
kaum pribumi di daerah-daerah ini turut serta dalam perayaan H.U.T. tersebut,
akan saya larang mereka turut dalam bersuka-cita dalam perayaan-perayaan itu,
bahkan tempat berpesta-pora ingin kupagari, agar orang-orang pribumi tidak
dapat melihat sedikit pun kegembiraan kami yang meluap-luap dalam memperingati
hari kemerdekaan kami itu.
Nampaknya seperti kurang sopan, menurut perasaan saya, seolah-olah kami
sudah tidak tahu malu, sungguh tidak pantas, bila kami – saya masih tetap orang
Belanda dalam angan-angan saya – menyuruh orang pribumi turut bersorak-sorai
pada peringatan kemerdekaan kami. Kami pertama-tama melukai rasa harga diri
(kehormatan) mereka yang peka itu, karena kami di tanah tumpah darah mereka
yang kita jajah ini memperingati hari kemerdekaan kami sendiri. Kita sekarang
bersuka-cita oleh karena seratus tahun yang lalu kami terlepas dari jajahan
kekuasaan asing, dan kesemuanya itu akan dilakukan di hadapan mata mereka yang
hingga sekarang masih tetap dijajah oleh kami. Tidakkah sebaiknya kita
memikirkan, bahwa mereka yang tertindas sangat mendambakan saat di mana mereka
seperti kami sekarang akan dapat pula merayakan pesta-pora seperti ini?! Atau
apakah mungkin kami mengira bahwa kami, setelah menjalankan politik penindasan
yang mematikan jiwa selama berabad-abad itu, telah membunuh segala perasaan
dalam jiwa mereka secara tuntas? Kalau begitu, kami benar-benar akan terkecoh,
sebab bahkan bangsa-bangsa yang paling tidak beradab sekali pun mengutuk segala
bentuk penjajahan. Maka, seandainya saya ini orang Belanda, tidak akan saya
adakan pesta peringatan kemerdekaan di suatu negeri, yang rakyatnya telah kita
rampas kemerdekaannya.
Bila kita mengikuti jalan pikiran ini seluruhnya maka bukan saja hal yang
demikian itu tidak adil, melainkan sungguh tidak pantas untuk meminta kaum
pribumi memberikan sumbangannya untuk dana penyelenggaraan pesta tersebut.
Sudah kita hina mereka dengan gagasan memperingati hari kemerdekaan Belanda
dengan berpesta-pora, sekarang ditambah lagi dengan menguras habis dompet
mereka. Betul-betul suatu penghinaan moral maupun material!
Apakah yang ingin mereka capai dengan mengadakan segala pesta-pora itu di
sini, di Hindia? Bila itu dimaksudkan sebagai luapan kegembiraan, maka kiranya
tidak bijaksana untuk melakukannya di sini, di suatu negara yang dijajah.
Mereka melukai hati rakyat negeri ini. Atau apakah mereka hendak menjadikan
suatu pertunjukan kemegahan secara politik! Bila benar demikian, maka tindakan
politik yang demikian itu benar-benar sangat tidak politis. Lebih-lebih di
waktu-waktu sekarang, di kala rakyat Hindia sedang sibuk membina diri dan
berada dalam keadaan hendak bangun walaupun masih agak mengantuk, merupakan
suatu kesalahan taktik untuk memberikan kepada rakyat suatu contoh tentang
bagaimana mereka pada suatu waktu harus merayakan kemerdekaan mereka. Dengan
demikian rakyat digugah nafsunya; secara tidak sadar hasrat kemerdekaan mereka,
harapan akan merdeka di hari mendatang dibina. Tanpa sengaja kepada rakyat
diserukan: “Lihatlah, orang-orang, bagaimana kami memperingati hari kemerdekaan
kami; cintailah kemerdekaan, karena sungguh-sungguh merupakan suatu kenikmatan
untuk menjadi orang merdeka, bebas dari semua penjajahan!“
Bila bulan November tahun ini telah lampau, maka kaum penjajah Belanda
telah melakukan suatu tindakan politik yang sangat berani. Resikonya adalah
tanggungjawab mereka. Saya tidak mau memikulnya walaupun umpamanya saya orang
Belanda.
Seandainya saya orang Belanda, pada saat ini, maka saya akan memprotes
gagasan peringatan ini. Saya akan menulis di semua surat kabar bahwa tindakan
ini salah. Saya akan memperingatkan sesama kaum kolonialku, bahwa berbahaya
mengadakan pesta kemerdekaan di waktu-waktu ini, akan saya nasihatkan semua
orang Belanda untuk tidak menyakiti hati rakyat Hindia Belanda – yang sedang
bangkit dan telah menyakiti hati rakyat Hindia itu – dan tidak membuatnya
menjadi kurang ajar. Sungguh, saya akan mengajukan protes dengan segala
kekuatanku.
Akan tetapi……saya bukan orang Belanda, saya hanya seorang anak negeri
daerah panas ini, kulitku berwarna coklat, seorang pribumi di daerah jajahan
negeri Belanda, maka dari itu saya tidak akan mengajukan protes.
Sebab, seandainya saya mengajukan protes, maka orang tidak terima. Bukankah
dengan demikian saya akan menghina rakyat negeri Belanda yang memerintah di
negeriku ini dan saya akan menjauhkan mereka dari saya. Itu saya tidak mau,
saya tidak boleh berbuat demikian. Seandainya saya orang Belanda, bukankah saya
tidak mau menyakiti hati rakyat kaum pribumi?!
Lagi pula mungkin orang akan mengatakan saya ini kurang ajar terhadap Seri
Ratu yang kita muliakan, dan akan merupakan dosa yang tidak dapat dimaafkan,
karena saya adalah kawulanya (abdinya – penterj.) yang senantiasa harus setia
kepadanya.
Maka dari itu saya tidak mengajukan protes!
Bahkan sebaliknya, saya akan turut berpesta. Bila nanti dipungut sumbangan,
saya pun akan menyumbang walaupun dengan demikian anggaran belanjaku akan
terpaksa kuperkecil menjadi separuh dari biasanya. Kewajibanku sebagai inlander
(orang pribumi) di daerah jajahan negeri Belanda (Nederlandsche Kolonie) untuk turut memperingati hari kemerdekaan
negeri Belanda secara meriah. Saya akan minta kepada kawan-kawan sebangsaku dan
sesama kawula negara Belanda untuk turut serta dalam pesta itu, sebab walaupun
pesta itu mempunyai arti khusus bagi orang-orang Belanda, namun kita pun
mendapat kesempatan yang paling baik untuk menunjukkan kesetiaan dan
kesamarasaan kita kepada Nederland (negeri Belanda). Selain daripada itu kita
akan mengadakan “demonstrasi setiahati”. Betapa nikmatnya perasaan hatiku
nanti. Saya bersyukur bahwa saya bukan orang Belanda.
Sekarang, marilah kita kesampingkan segala sindiran.
Seperti yang saya katakan pada permulaan karangan ini peringatan ke seratus
tahun kemerdekaan negeri Belanda yang telah kita sebut di atas menunjukkan
dengan baik kesetiaan kepada tanah air yang sudah banyak sekali
didengung-dengungkan itu, dalam hal ini dari pihak orang-orang Belanda. Maka
dari itu saya tidak akan cemburu sedikitpun terhadap kegembiraan meluap-luap
yang akan dirasakan oleh mereka pada hari peringatan kemerdekaan nasionalnya
nanti. Akan tetapi, yang paling menyakiti hati saya dan kebanyakan kawan-kawan
sesama bangsa saya adalah kenyataan, bahwa orang-orang pribumi lagi-lagi harus turut
membayar untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kepentingan mereka. Apa yang dapat kita harapkan dari pesta yang kita turut
menyelenggarakannya itu? Tidak ada, paling banyak suatu peringatan bagi kita,
bahwa kita bukan bangsa yang merdeka dan “bahwa Belanda takkan pernah
memberikan kedaulatan kepada kita”, sedikit-dikitnya selama tuan Idenburg tetap
memegang jabatan wali negara, lalu – aneh sekali – pelajaran yang akan kita
peroleh dari pesta-pesta tersebut: bahwa merupakan suatu kewajiban bagi setiap
orang untuk memperingati hari pernyataan kemerdekaan bangsanya dengan baik.
Oleh Karena itu, saya lebih cenderung kepada gagasan yang akhir-akhir ini
untuk pertama kali diuraikan dalam koran pribumi “Kaoem Moeda” dan dalam “De
Express”, untuk mendirikan suatu panitia kaum pribumi terpelajar di Bandung,
tempat yang mencetuskan gagasan tersebut dan tempat berdirinya kantor pusat
panitia tersebut. Badan itu pada hari peringatan nasional Belanda akan
mengirimkan sebuah telegram ucapan selamat kepada Ratu disertai pernohonan yang
mendesak agar pasal 111 RR (Regeeringsreglement
– Peraturan Pemerintah) dihapus dan suatu Parlemen Hindia dibentuk.
Hasil dari pernohonan tersebut – apa lagi yang mengenai bagian terakhir –
lebih baik tidak usah kita pikirkan; arti dari tindakan itu sendiri sudah dapat
merupakan sesuatu yang berharga. Bukankah suatu permohonan seperti itu sudah
mengandung protes yang menyatakan pertama-tama, bahwa kita hingga kini sama
sekali tidak diberi hak untuk membicarakan masalah-masalah politik, behwa
dengan kata lain kita sama sekali tidak diberi kebebasan dalam bidang tersebut?
Suatu bangsa yang sangat mencintai kemerdekaan seperti rakyat negeri Belanda
yang sekarang akan mengadakan pesta kemerdekaannya tentu akan membenarkan
permohonan seperti itu.
Yang mengenai pembentukan parlemen, di situ nampak dengan jelas betapa
besarnya hasrat kita untuk cout que cout (bagaimanapun juga) mempunyai suara
dalam bagian ini. Ini memang sangat perlu. Di mana bangkitnya rakyat Hindia
telah cukup membuktikan bahwa emansipasi telah berlaku dengan laur biasa
cepatnya, tentu orang pun dapat juga memperhitungkan adanya kemungkinan bahwa
rakyat yang sekarang mereka jajah pada suatu ketika akan melebihi majikannya.
Apa nanti yang akan terjadi bila empat puluh juta orang yang telah bangun benar
datang memintakan pertanggunganjawab kepada seratus orang yang harus membentuk
de Tweede Kamer dan dinamakan perwakilan rakyat itu? Apakah mereka lebih suka
menyerah kelak kalau sudah terlambat, kalau krisis sudah terjadi?
Kedengarannya agak aneh bahwa panitia yang disebut-sebut di atas justru
minta sebuah parlemen. Sedangkan pihak pemerintah, dengan lamban sekali, baru
mulai dengan pembentukan suatu perwakilan kolonial yang mungkin sekali
anggota-anggotanya hanya orang-orang yang dipilih dan diangkat oleh Pemerintah
sebagai (apa yang dinamakan) utusan dalam dewan daerah – bahkan panitia dengan
tergesa-gesa datang begitu saja membawa sebuah usul yang hebat sekali, tak
lebih dan tak kurang dari mohon sebuah parlemen.
Nampaknya yang dituju oleh Panitia jiwa dapat dihapuskan.
Nah, lihat, sekarang sudah ada pengaruh gagasan peringatan tersebut!
Sungguh, seandainya saya ini orang Belanda, maka saya tak akan pernah mau
merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita
jajah. Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru sesudah itu
kita memperingati kemerdekaan kita sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar