Perayaan
HUT ke-45 PKI (Partai Komunis Indonesia)
diselenggarakan secara besar-besaran di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1965 dengan
mengambil tempat di Stadion Utama Senayan (sekarang
Stadion Utama Gelora Bung Karno) yang saat itu mampu menampung sebanyak 150
ribu orang (sekarang 88 ribu orang). Apabila digambarkan Stadion raksasa itu
seakan-akan mau runtuh menampung gegap gempita massa PKI dan ormas – ormasnya
yang sedang berpesta ulang tahun disitu.
Perayaan
akbar di Stadion yang akbar juga itu merupakan sebuah pembuktian akan kuatnya
pengaruh PKI di Indonesia. Rapat raksasa distadion utama Senayan merupakan
pameran kekuatan partai ini. Pada saat itu juga Ketua CC PKI DN Aidit menjadi
komando untuk seluruh unsur-unsurnya PKI yang menghadiri rapat.
Aksi
– aksi massa dikobarkan dengan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme serta
slogan-slogan sesuai dengan program tuntutan PKI yang antara lain berbunyi:
Ganyang 7 setan desa, Ganyang 3 setan kota, Ganyang Kabir (Kapitalis birokrat)
bentuk Kabinet Gotong Royong berporoskan Nasakom, bentuk angkatan Angkatan
ke-V, adakan Pemilu ke-II, laksanakan Manipol dan Dekon secara konsekwen, intensiftikan
konfrontasi dengan Malaysia, bantu Vietnam Utara dan Ganyang Kebudayaan Barat.
Komando
itu memang dibuktikan pelaksanaannya di berbagai tempat yang strategis
potensial serta psikologis-situasional dianggap tepat. Kedudukan PKI saat itu
benar-benar sangat kuat. Komponen Pemerintah seakan-akan dibuat terkesima oleh
kerja rapih PKI. Saat ini cukup minim gerakan massif melawan Partai Komunis
Indonesia. Dalam hal ini PKI dibantu sepenuhnyan oleh media massa yang saat itu
mereka kuasai sepenuhnya seperti Kantor Berita ANTARA dan PWI.
Ketika
isu Presiden Soekarno yang mengalami sakit, Aidit sekembalinya dari Peking, Ia
bersama Tim Dokternya mengunjungi Istana untuk kemudian mengabarkan kondisi
Soekarno kepada anggota Polit Biro. Dalam rapat Aidit kepada anggota Polit Biro
menerangkan bahayanya apabila Presiden
tidak kunjung sembuh, pemerintahan bisa dikendalikan Dewan Jenderal yang rapatnya
diadakan tiga kali dibulan Agustus 1965.
Hingga
akhirnya, pada rapat yang berlangsung beberapa kali itu PKI merencanakan kudeta
terhadap Dewan Jenderal. PKI sendiri berdalih demi mengamankan pemerintahan
mereka harus terlebih dahulu mengkudeta Dewan Jenderal sebelum Dewan Jenderal
yang mengkudeta lebih dulu.
September
1965, keadaan Ibukota Jakarta tidak menentu, terasa sangat panas dan tegang. Dibulan
ini PKI secara berturut-turut mengadakan Munas (Musyawarah Nasional), Mubes
(Musyawarah Besar) dari berbagai organisasi massa.
Kekuatan
anggota Partai Komunis Indonesia disebut-sebut sebagai yang ketiga terbesar
didunia, kekuatan PKI sendiri didominasi kaum buruh dan tani. Hal tersebut
seakan menjadi bukti sangat kuatnya PKI di Indonesia, namun disisi lain AD atau
Anggkatan Darat yang merupakan suatu Angkatan dalam ABRI yang sering berlawanan
dengan PKI. Berdeda dengan AURI yang dinilai PKI mampu dikusai, sedangkan AL
sedang sibuk dengan masalahnya sendiri, dan AK dapat dinetralisirkan.
Melihat
kondisi tersebut PKI berupaya memecah kekuatan ditubuh AD dengan aktivitas
“Biru Khusus”nya ditubuh AD. Pembinaan terhadap perwira-perwira ABRI yang
bersimpati terhadap PKI secara intensif dilakukan. Selain itu PKI juga berusaha
mempertajam jarak antara para bintara, tamtama dengan perwira-perwiranya.
Puncaknya adalah isu adanya “Dewan Jenderal”.
Dan
yang menjadi puncak sekaligus akhir cerita pergerakan PKI, yaitu tindakan
pembantaian terhadap para jenderal AD pada tanggal 30 September 1965 di
Jakarta. Pembunuhan terhadap perwira-perwira AD ini merupakan isyarat
dimulainya Pemberontakan G 30 S PKI yang dahsyat; yang juga akan merupakan
titik balik bagi kehancuran PKI sebagai partai dalam waktu yang sangat singkat.
PKI
dengan Gerakan 30 September-nya memulai pemberontakannya dengan membantai
perwira-perwira AD, tetapi AD juga yang memelopori penggulungan PKI serta G 30
S nya sampai ke akar-akarnya.
“Selamat hari peringatan
Kesaktian Pancasila.” –KetiKANS, 1 Oktober 2016–
BACA BERIKUTNYA:
0 komentar:
Posting Komentar